Thursday, July 11, 2013

Dunia menurut Allah dan Rasullullah

Dunia Ini adalah…..

Allah — subhanahu wa ta’ala — berfirman, artinya, “Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: “Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.” (al-Qashas; 79)
Setali tiga uang dengan manusia sekarang dalam memandang keduniaan. Semua serba diukur dengan uang, harta dan kemewahan. Seorang ayah berkata kepada seorang pemuda yang hendak melamar anaknya, “Berapa penghasilan kamu setiap bulan” atau “apa yang akan kamu berikan kepada anakku,’ dan kata semisalnya yang semuanya berujung pada materi. Di saat yang lain sang ibu berkata kepada anak laki-lakinya, “Nak, kamu harus belajar yang pintar, biar bisa dapat kerjaan yang layak, kalau perlu jadi PNS, hidupnya dah terjamin sampai tua.”
Marilah kita merenungkan ayat Allah — subhanahu wa ta’ala –, yang artinya,
“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah itu benar. Maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia itu menipu kalian dan janganlah sekali-kali orang yang pandai menipu menipu kalian tentang Allah.” (Fathir: 5)
Benar dunia adalah kesenangan yang menipu, maka janganlah kalian tertipu.
Melihat sekeliling, semakin jarang orang yang memikirkan kehidupan akhirat, semakin sedikit, seorang ayah yang ingin anaknya menjadi shalih dan shalihah, dan semakin bisa dihitung dengan jari seorang ibu yang ingin anaknya sukses dan pintar dalam ilmu agama, sehingga mendoakannya ketika orangtuanya meninggal. Semua…. Yah hampir mayoritas, manusia membelalakan matanya untuk dunia, dan hanya melirik sedikit kehidupan akhirat.
Dunia Di Mata Rasulullah — shallallahu ‘alaihi wa sallam –
Kalaulah kita benar mengaku Islam, tentunya panutan kita adalah Rasulullah — shallallahu ‘alaihi wa sallam –. Kalaulah kita mengaku cinta Rasul — shallallahu ‘alaihi wa sallam — marilah melihat bagaimana Rasulullah — shallallahu ‘alaihi wa sallam — memandang dunia ini,
Suatu ketika Rasulullah — shallallahu ‘alaihi wa sallam — melintasi bangkai seekor anak kambing dengan telinga terputus, beliau — shallallahu ‘alaihi wa sallam — memegang telinga bangkai tersebut seraya berkata:
أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ
“Siapa di antara kalian yang suka memiliki anak kambing ini dengan membayar seharga satu dirham?”
Mereka menjawab, “Kami tidak ingin memilikinya dengan harga semurah apapun. Apa yang dapat kami perbuat dengan bangkai ini? “Rasulullah — shallallahu ‘alaihi wa sallam — kemudian berkata,
أَتُحِبُّونَ أَنَّهُ لَكُمْ؟
” Apakah kalian suka bangkai anak kambing ini menjadi milik kalian? ”
Mereka menjawab, “Demi Allah, seandainya pun anak kambing ini masih hidup, tetaplah ada cacat, terputus telinganya. Apalagi ia telah menjadi seonggok bangkai, “jawab mereka. Beliau — shallallahu ‘alaihi wa sallam — pun bersabda setelahnya,
فَوَاللهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ، مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ
“Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah dari hinanya bangkai ini untuk kalian.” (HR. Muslim no.2975)
Rasulullah — shallallahu ‘alaihi wa sallam — juga bersabda,
لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
“Seandainya dunia punya nilai di sisi Allah walau hanya menyamai nilai sebelah sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum kepada orang kafir seteguk airpun.” (HR. At-Tirmidzi no. 2320)
Inilah Rasulullah — shallallahu ‘alaihi wa sallam — bangkit dari tidur di atas tikar dan meninggalkan bekas pada tubuh beliau — shallallahu ‘alaihi wa sallam — sehingga para Sahabat yang menyaksikan hal itu berkata, “Wahai Rasulullah, seandainya bisa kami siapkan untukmu kasur yang empuk!” Beliau — shallallahu ‘alaihi wa sallam — hanya menjawab:
مَا لِي وَلِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Ada kecintaan apa aku dengan dunia? Aku di dunia ini tidak lain kecuali seperti seorang pengendara yang mencari naungan di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya.” (HR. at-Tirmidzi, no. 2377)
Rasulullah — shallallahu ‘alaihi wa sallam — juga bersabda,
وَاللهِ مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ فِي الْيَمِّ، فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ؟
“Tidaklah dunia bila dibandingkan dengan akhirat kecuali hanya semisal salah seorang dari kalian memasukkan sebuah jarinya ke dalam lautan. Maka hendaklah ia melihat apa yang dibawa oleh jari tersebut ketika diangkat?” (HR. Muslim, no. 2858)
Yah demikianlah hinanya dunia di mata panutan kita — shallallahu ‘alaihi wa sallam –. Beliau — shallallahu ‘alaihi wa sallam — hanya menjadikannya sebagai ladang amal demi menuju negeri keabadian. Lalu bagaimanakah dengan diri kita? Bagaimanakah kita memandang dunia ini? apakah kita benar-benar ingin mencontoh Rasulullah — shallallahu ‘alaihi wa sallam –? Wallahu a’lam bishawab. (Redaksi)

No comments:

Post a Comment